Islam dalam Budaya Jawa

Islamisasi di Jawa secara historis merupakan dinamika proses interaksi budaya antara Islam dan Jawa. Dalam proses Islamisasi di Jawa, budaya jawa memiliki banyak dasar-dasar tentang Islam, salah satunya tentang wihdatul wujud di mana adanya pemahaman bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajaran budaya Jawa, hal ini termasuk ke dalam paham Manunggaling Kawulo Gusti yakni paham di mana manusia sebagai hamba berusaha agar sikap, perilaku, dan perkataannya sesuai dengan tuntutan Tuhan. Dalam Islam, hal tersebut masuk ke dalam mistik Islam (tasawuf). Selain itu, masyarakat Jawa
mempunyai kepercayaan bahwasannya budaya Jawa memiliki dua bagian yakni budaya lahir dan budaya batin.
Contoh rujukan Islam dalam budaya Jawa, Dhanu Priyo Prabowo, menyatakan dalam karangannya bahwa “Kawula mung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang sukmo” dapat diartikan “Lakukan yang kita bisa, setelahnya serahkan kepada Tuhan”. Oleh sebab itu orang Jawa menggambarkan dirinya sebagai wayang yang segala hal yang dialaminya ditentukan oleh dalang. Di mana dalam hal ini wayang sebagai simbol manusia, dan dalang sebagai simbol Tuhan. Dalam Islam hal tersebut masuk dalam paham jabariyah atau menerima segala yang digariskan oleh Allah. Dalam kehidupan, masyarakat Jawa memiliki semangat hidup yang dilandasi sikap “memayu hayuning saliro, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayuning bawana” atau dapat diartikan “memelihara kesejahteraan diri, memelihara kesejahteraan bangsa, dan memelihara kesejahteraan dunia”.
Maka dasar-dasar budaya Jawa itu diwarnai dengan ajaran Islam sehingga Islam dapat dibumikan di pulau Jawa. Hal tersebut dikarenakan Islam sebagai agama fitrah sehingga dapat diterima oleh fitrah manusia khususnya masyarakat Jawa. Seperti firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Ar-Rum ayat 30:

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Penulis : Fara Fadhilah Rusyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *